Mekarkan Senyum Mereka

Kemarin saya sempat berkunjung ke Pontianak, Kalimantan Barat. Bukan karena dipikat kampanye Visit Kalimantan Barat 2010. Semata-mata karena suatu tugas
yang harus dilakukan di sana.

Turun dari pesawat Jakarta-Pontianak yang berangkat terlambat sekitar 1 jam karena "alasan operasional" seperti lazim terjadi, saya bergegas masuk ruang kedatangan bandara. Harapan saya, segera bisa keluar bandara agar yang menjemput tidak bosan menunggu. Ternyata, harapan tinggal harapan.
Bagasi baru bisa diambil dari ban berjalan setelah menunggu tidak kurang dari 40 menit! Kenapa? Karena pengangkut bagasi turun dari pesawat cuma satu dengan kapasitas angkut yang sangat terbatas.

Kunjungan saya terakhir ke kota tersebut terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Dibandingkan dengan dua tahun yang lalu, saya tidak melihat banyak perubahan terjadi. Ada hotel baru, bahkan ada hotel baru yang (entah bagaimana studinya dilakukan) hampir seluruh jendela kamarnya tampak gelap, nyaris tidak ada penghuninya. Beberapa proyek bangunan bertebaran di sana-sini, belum selesai. Tata kotanya terkesan semrawut, pertokoan ada di mana-mana. Sama halnya ceceran sampah juga ada di mana-mana. Yang memprihatinkan, agak di luar kota terlihat orang mandi di sungai yang coklat keruh. Bahkan dengan jelas kelihatan pula ada orang yang sedang menggosok gigi di pinggir sungai. Ironisnya, tahun 2010 dinyatakan sebagai tahun kunjungan wisata Kalimantan Barat dan Pontianak adalah gerbang masuk Kalimantan Barat. Meskipun demikian dari penuturan warga setempat, dikatakan banyak wisatawan dari Kuching berkunjung ke Pontianak. Konon mereka belanja pakaian, dan beberapa jenis barang lain yang di negerinya lebih mahal.

Saya diundang menjadi narasumber sebuah seminar. Seminar bertajuk "Menggali Potensi Daerah". Dua tahun yang lalu penyelenggara juga mengadakan seminar dengan judul yang kurang lebih sama. Sampai-sampai saya berkelakar, kok menggali terus, kapan menemukan tambangnya? Atau, mungkin karena masyarakat maunya berputar-putar di lobang galian, mereka tidak juga berhasil menemukan sesuatu untuk perkembangan wilayahnya? Mungkin saja itu yang terjadi. Seorang peserta seminar sempat mempertanyakan kesiapan masyarakat Kalimantan Barat menerima produk-produk yang diiklankan "orang-orang pusat". Nah, ada nuansa ketidaksesuaian apa yang dipikir orang Jakarta (yang menyuruh pasang iklan-iklan tersebut) dengan kondisi masyarakat. Papan-papan iklan boleh saja terpampang besar-besar menguasai jalan-jalan utama kota, tapi itu tidak menggerakkan masyarakat untuk membeli, karena memang daya beli terbatas. Jadilah pembenaran, iklan cuma menjual mimpi.

Ketika saya berbincang dengan beberapa peserta seminar, mereka mengeluhkan etos kerja masyarakat. Mereka tidak dapat menunjukkan industri apa yang berkembang di sana. Kecuali lidah buaya yang dibuat minuman sampai dodol. Jeruk Pontianak? "Masih, tapi tidak semanis dulu". Obyek wisata? Nah, di sini ada Tugu Khatulistiwa. Tapi kalau berkunjung ke sana, siap-siap dengan toilet yang sama sekali tidak bersih. Kraton Kesultanan Pontianak? Ada, tapi sebaiknya jangan kesana malam-malam. Itu "bronx"-nya Pontianak. Saya sempat berkunjung ke sana keesokan harinya. Akses jalan ke sana sama sekali tidak mulus. Bangunan kratonnya sendiri di sana-sini ditempeli sarang burung layang-layang. Isi kraton sangat minim. Anak-anak berambut acak-acakan dan ibu-ibu berpakaian lusuh menengadahkan tangan sambil bergumam tak jelas. Padahal Sultan Hamid II adalah penggagas lambang Garuda Pancasila. Alhamdulillah, ada semilir berita surga: tahun depan kraton akan dipugar.

Saya lalu membandingkan potret buram situasi tersebut dengan kehadiran kantor Rumah Zakat di sana. Kabarnya, perkembangan Rumah Zakat di sana (demikian pula di wilayah Indonesia bagian Timur yang lain) belum terlalu menggembirakan. Situasi wilayah itu bisa jadi tantangan menarik buat Rumah Zakat. Apalagi tahun ini Rumah Zakat meluncurkan gerakan Merangkai Senyum Indonesia. Pontianak kan Indonesia? Kalimantan Barat juga Indonesia kan? Sungguh banyak hal bisa dibuat di sana.

oleh: AM Adhy Trisnanto

1 komentar: (+add yours?)

Fahrul_Iswar mengatakan...

Insya Alloh pak...

Posting Komentar